MAKALAH
SIKU DAYAK
HILMI MAULANA MAHER
13212487
1EA04
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara multikultural
terbesar di dunia. Hal ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural, agama
maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Sekarang ini, jumlah pulau yang
ada di wilayah Negara kesatuan republik indonesia (NKRI) sekitar 13.000 pulau
besar dan kecil. Populasi penduduknya berjumlah lebih dari 200 juta jiwa,
terdiri dari 300 suku yang menggunakan hampir 200 bahasa yang berbeda. Selain
itu mereka juga menganut agama dan kepercayaan yang beragam seperti Islam,
Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, Konghucu serta berbagai macam aliran
kepercayaan .
Kebudayaan adalah salah satu aset penting bagi sebuah
Negara berkembang, kebudayaan tersebut untuk sarana pendekatan sosial, simbol
karya daerah, asset kas daerah dengan menjadikannya tempat wisata, karya ilmiah
dan lain sebagainya. Dalam hal ini suku Dayak Kalimantan yang mengedepankan
budaya leluhurnya, sehingga kebudayaan tersebut sebagai ritual ibadah mereka
dalam menyembah sang pencipta yang dilatarbelakangi kepercayaan tradisional
yang disebut Kaharingan.
Sebagai bukti ragam budaya Indonesia yaitu tradisi
Tiwah sebagai salah satu kebudayaan masyarakat Dayak Ngaju Propinsi Kalimantan
Tengah yangpada mulanya sebuah tradisi kepercayaan masyarakat Kaharingan.
Berbagaimacam prosesi yang terjadi pada acara tersebut, diantaranya: Ngayau
(penggalkepala), ritual Tabuh (tidak tidur selama dua malam dengan diselingi
minum.
Dari uraian di atas kami tertarik untuk membuat
makalah yang terkait lebih dengan mengambil judul "Kebudayaan
Suku Dayak".
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dan mengacu pada
judul yang ada, kami merumuskan masalah dalam penulisan makalah adalah ini
sebagai berikut :
1.
Mengapa masyarakat suku Dayak Ngaju masih melaksanakan Upacara Tiwah ?
2.
Bagai mana system kekerabatan ssuku dayak ?
C. Tujuan Penulisan Makalah
Secara umum penelitian ini berusaha mengungkap prosesi
tiwah dalam perspektif hukum Islam dan Hukum Negara. Sedangkan secara rincinya
sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui kebudayaan suku dayak.
2.
Untuk memenuhi nilai IPS .
BAB II
PEMBAHASAN
A. Geografi
Antara daratan Asia dan Australia
terletak Nusa Tenggara Indonesia termasuk pulau Borneo yang oleh orang
Indonesia dinamakan Kalimantan. Nama Borneo mungkin berasal dari nama Brunei
dan sering digunakan untuk menamai seluruh pulau sedangkan nama Kalimantan
mungkin berasal dari keadaan pulau yang punya banyak kali, banyak mas,
dan banyak intan, sehingga menjadi Kalimantan. Menurut beberapa
pihak lain mungkin nama Kalimantan berasal dari nama Lamanta. Lamanta
adalah sagu dari pohon yang baru ditebang, yang masih mentah. Pada umumnya nama
Kalimantan digunakan untuk bagian geografis tanah di bawah pemerintahan
Indonesia dan West Malaysia atau nama Borneo untuk bagian di bawah pemerintahan
Malaysia.
B. Persebaran suku-suku Dayak di Pulau Kalimantan.
Dikarenakan arus
migrasi yang kuat dari para pendatang, Suku Dayak yang masih mempertahankan
adat budayanya akhirnya memilih masuk ke pedalaman. Akibatnya, Suku Dayak
menjadi terpencar-pencar dan menjadi sub-sub etnis tersendiri.
Kelompok Suku
Dayak, terbagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih jumlahnya 405 sub (menurut
J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku Dayak di pulau Kalimantan
mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip, merujuk kepada sosiologi
kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas.
Masa lalu masyarakat yang kini disebut suku Dayak, mendiami daerah pesisir
pantai dan sungai-sungai di tiap-tiap pemukiman mereka.
Etnis Dayak
Kalimantan menurut seorang antropologi J.U. Lontaan, 1975 dalam Bukunya Hukum Adat
dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, terdiri dari 6 suku besar dan 405 sub suku
kecil, yang menyebar di seluruh Kalimantan.
C. Pengertian Suku Dayak
Dayak atau Daya
adalah nama yang oleh penduduk pesisir pulau Borneo diberi kepada penghuni
pedalaman yang mendiami Pulau Kalimantan yang meliputi Brunei, Malaysia yang terdiri dari Sabah dan Sarawak, serta Indonesia yang terdiri dari Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan
Selatan . Budaya masyarakat Dayak adalah
Budaya Maritim atau bahari. Hampir semua nama sebutan orang Dayak mempunyai
arti sebagai sesuatu yang berhubungan dengan "perhuluan" atau sungai,
terutama pada nama-nama rumpun dan nama kekeluargaannya.
Ada yang membagi
orang Dayak dalam enam rumpun yakni rumpun Klemantan alias Kalimantan, rumpun Iban, rumpun Apokayan yaitu Dayak Kayan, Kenyah dan Bahau, rumpun Murut, rumpun
Ot Danum-Ngaju dan rumpun Punan. Namun secara ilmiah, para linguis melihat 5 kelompok bahasa yang
dituturkan di pulau Kalimantan dan masing-masing memiliki kerabat di luar pulau
Kalimantan:
- "Barito Raya (33 bahasa, termasuk 11 bahasa dari kelompok bahasa Madagaskar, dan Sama-Bajau),
- "Dayak Darat" (13 bahasa)
- "Borneo Utara" (99 bahasa), termasuk bahasa Yakan di Filipina.
- "Sulawesi Selatan" dituturkan 3 suku Dayak di pedalaman Kalbar: Dayak Taman, Dayak
Embaloh, Dayak Kalis disebut rumpun Dayak Banuaka.
- "Melayik" dituturkan 3 suku Dayak: Dayak Meratus/Bukit (alias Banjar arkhais yang digolongkan bahasa
Melayu), Dayak Iban dan Dayak
Kendayan (Kanayatn). Tidak termasuk Banjar, Kutai, Berau, Kedayan
(Brunei), Senganan, Sambas yang dianggap berbudaya Melayu. Sekarang
beberapa suku berbudaya Melayu yang sekarang telah bergabung dalam suku
Dayak adalah Tidung, Bulungan (keduanya rumpun Borneo Utara) dan Paser
(rumpun Barito Raya).
D. Sejarah Suku Dayak
Suku Dayak adalah
suku asli Kalimantan yang hidup berkelompok yang tinggal di pedalaman, gunung,
dan sebagainya. Kata Dayak itu sendiri sebenarnya diberikan oleh orang-orang
Melayu yang datang ke Kalimantan. Orang-orang Dayak sendiri sebenarnya
keberatan memakai nama Dayak, sebab lebih diartikan agak negatif. Padahal,
semboyan orang Dayak adalah “Menteng Ueh Mamut”, yang berarti seseorang yang
memiliki kekuatan gagah berani, serta tidak kenal menyerah atau pantang mundur.
Pada tahun
1977-1978 saat itu, benua Asia dan pulau Kalimantan yang merupakan bagian
nusantara yang masih menyatu, yang memungkinkan ras mongoloid dari asia
mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan
yang sekarang disebut pegunungan “Muller-Schwaner”. Suku Dayak merupakan
penduduk Kalimantan yang sejati. Namun setelah orang-orang Melayu dari Sumatra
dan Semenanjung Malaka datang, mereka makin lama makin mundur ke dalam.
Belum lagi
kedatangan orang-orang Bugis, Makasar, dan Jawa pada masa kejayaan Kerajaan
Majapahit. Suku Dayak hidup terpencar-pencar di seluruh wilayah Kalimantan
dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai
hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan. Suku ini
terdiri atas beberapa suku yang masing-masing memiliki sifat dan perilaku
berbeda.
Suku Dayak pernah
membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut
”Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh
Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 . Kejadian tersebut
mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah
pedalaman. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasala
dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu sekitar tahun 1608 .
Sebagian besar
suku Dayak memeluk Islam dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak,
tapi menyebut dirinya sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang
Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di
Kalimantan Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari,
Watang Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus terdesak
masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan
dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal
adalah Lambung Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot
Danum).
Tidak hanya dari
nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa
diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643.
Dari manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi
adalah Banjarmasin. Tetapi masih belum jelas apakah bangsa Tionghoa datang pada
era Bajarmasin (dibawah hegemoni Majapahit) atau di era Islam.
Kedatangan bangsa
Tionghoa tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki
pengaruh langsung karena langsung karena mereka hanya berdagang, terutama
dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan
orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku
Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik.
Sejak awal abad V
bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung Lo mengirim
sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan
Chang Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah
ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah
menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas.
Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya candu,
sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci (Sarwoto
kertodipoero,1963)
E. Sistem Religi
Religi asli suku
Dayak tidak terlepas dari adat istiadat mereka. Bahkan dapat dikatakan adat
menegaskan identitas religius mereka. Dalam praktik sehari-hari, orang dayak
tidak pernah menyebut agama sebagai normativitas mereka, melainkan adat. Sistem
religi ini bukanlah sistem hindu Kahuringan seperti yang dikenal oleh
orang-orang pada umumnya.
Orang Dayak
Kanayatn menyebut Tuhan dengan istilah Jubata. Jubata inilah yang dikatakan
menurunkan adat kepada nenek moyang Dayak Kanayatn yang berlokasi di bukit bawakng
. Dalam mengungkapkan kepercayaan kepada Jubata, mereka memiliki tempat ibadah
yang disebut panyugu atau padagi. Selain itu diperlukan juga seorang imam panyangahatn yang menjadi seorang penghubung, antara manusia dengan Tuhan ( Jubata ).
Sekarang ini
banyak orang Dayak Kanayatn yang menganut agama Kristen dan segelintir memeluk Islam. Kendati sudah memeluk agama, tidak bisa dikatakan bahwa orang Dayak
Kanayatn meninggalkan adatnya. Hal menarik ialah jika seorang Dayak Kanayan
memeluk agama Islam, ia tidak lagi disebut Dayak, melainkan Melayu atau orang Laut .
F. Bahasa
Dayak Kanayatn
memakai bahasa ahe/nana' serta damea/jare dan yang serumpun. Sebenarnya secara
isologis (garis yang menghubungkan persamaan dan perbedaan kosa kata yang
serumpun) sangat sulit merinci khazanah bahasanya. Ini dikarenakan bahasa yang
dipakai sarat dengan berbagai dialek dan juga logat pengucapan. Beberapa
contohnya ialah : orang Dayak Kanayatn yang mendiami wilayah Meranti
(Landak) yang memakai bahasa ahe/nana' terbagi lagi ke dalam bahasa behe,
padakng bekambai, dan bahasa moro. Dayak Kanayatn di kawasan Menyuke (Landak)
terbagi dalam bahasa satolo-ngelampa', songga batukng-ngalampa' dan
angkabakng-ngabukit. selain itu percampuran dialek dan logat menyebabkan
percampuran bahasa menjadi bahasa baru.
Banyak Generasi
Dayak Kanayatn saat ini tidak mengerti akan bahasa yang dipakai oleh para
generasi tua. Dalam komunikasi saat ini, banyak kosa kata Indonesia yang
diadopsi dan kemudian "di-Dayak-kan". Misalnya ialah :bahasa ahe
asli : Lea ,bahasa indonesia : seperti ,bahasa ahe sekarang :
saparati .Bahasa yang dipakai sekarang oleh generasi muda mudah dimengerti
karena mirip dengan bahasa indonesia atau melayu.
G. Lembaga Adat
Suku Dayak
merupakan bagian dari masyarakat adat. Masyarakat adat adalah
komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal usul keturunan diatas suatu
wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan
sosial-budayanya diatur oleh hukum adat dan lembaga adat yang mengelola
keberlangsungan hidup masyarakatnya.
Hukum adat Dayak
Kanayatn mempunyai satuan wilayah teritorial yang disebut Binua. Binua
merupakan wilayah yang terdiri dari beberapa kampong . Masing-masing binua
punya otonominya sendiri, sehingga komunitas binua yang satu tidak dapat
mengintervensi hukum adat di binua lain.
Setiap binua
dipimpin oleh seorang timanggong (kepala desa). timanggong
memiliki jajaran-bawahan yaitu pasirah (kepala dusun) dan pangaraga
(ketua RW/RT). Ketiga pilar inilah yang menjadi lembaga adat Dayak Kanayatn
H. Sistem Kekerabatan
Sistem pertalian
darah suku Dayak Kanayatn menggunakan sistem bilineal/parental (ayah dan ibu).
Dalam mengurai hubungan kekerabatan, seorang anak dapat mengikuti jalur ayah
maupun ibu. Hubungan kekerabatan terputus pada sepupu delapan kali. Hubungan
kekerabatan ini penting karena hubungan ini menjadi tinjauan terutama pada
perkara perkawinan. Mungkin hal ini dimaksudkan agar tidak merusak keturunan.
I. Adat Istiadat
Suku Dayak
Di bawah ini ada
beberapa adat istiadat suku dayak yang masih terpelihara hingga kini, dan dunia
supranatural Suku Dayak pada zaman dahulu maupun zaman sekarang yang masih kuat
sampai sekarang. Adat istiadat ini merupakan salah satu kekayaan budaya yang
dimiliki oleh Bangsa Indonesia, karena pada awal mulanya Suku Dayak berasal
dari pedalaman Kalimantan.
1. Upacara Tiwah
Upacara Tiwah
merupakan acara adat suku Dayak. Tiwah merupakan upacara yang dilaksanakan
untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung yang sudah di
buat. Sandung adalah tempat yang semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus
untuk mereka yang sudah meninggal dunia.
2. Dunia Supranatural
Dunia
Supranatural bagi Suku Dayak memang sudah sejak jaman dulu merupakan ciri khas
kebudayaan Dayak. Karena supranatural ini pula orang luar negeri sana menyebut
Dayak sebagai pemakan manusia ( kanibal ). Namun pada kenyataannya Suku Dayak
adalah suku yang sangat cinta damai asal mereka tidak di ganggu dan ditindas
semena-mena. Kekuatan supranatural Dayak Kalimantan banyak jenisnya, contohnya
Manajah Antang. Manajah Antang merupakan cara suku Dayak untuk mencari petunjuk
seperti mencari keberadaan musuh yang sulit di temukan dari arwah para leluhur
dengan media burung Antang, dimanapun musuh yang di cari pasti akan ditemukan.
Mangkok merah.
Mangkok merah merupakan media persatuan Suku Dayak. Mangkok merah beredar jika
orang Dayak merasa kedaulatan mereka dalam bahaya besar. “Panglima” atau sering
suku Dayak sebut Pangkalima biasanya mengeluarkan isyarat siaga atau perang
berupa mangkok merah yang di edarkan dari kampung ke kampung secara cepat
sekali. Dari penampilan sehari-hari banyak orang tidak tahu siapa panglima
Dayak itu. Orangnya biasa-biasa saja, hanya saja ia mempunyai kekuatan
supranatural yang luar biasa. Percaya atau tidak panglima itu mempunyai ilmu
bisa terbang kebal dari apa saja seperti peluru, senjata tajam dan sebagainya.
Mangkok merah
tidak sembarangan diedarkan. Sebelum diedarkan sang panglima harus membuat
acara adat untuk mengetahui kapan waktu yang tepat untuk memulai perang. Dalam
acara adat itu roh para leluhur akan merasuki dalam tubuh pangkalima lalu jika
pangkalima tersebut ber “Tariu” ( memanggil roh leluhur untuk untuk meminta
bantuan dan menyatakan perang ) maka orang-orang Dayak yang mendengarnya juga
akan mempunyai kekuatan seperti panglimanya. Biasanya orang yang jiwanya labil
bisa sakit atau gila bila mendengar tariu.
Orang-orang yang
sudah dirasuki roh para leluhur akan menjadi manusia dan bukan. Sehingga
biasanya darah, hati korban yang dibunuh akan dimakan. Jika tidak dalam suasana
perang tidak pernah orang Dayak makan manusia. Kepala dipenggal, dikuliti dan
di simpan untuk keperluan upacara adat. Meminum darah dan memakan hati itu,
maka kekuatan magis akan bertambah. Makin banyak musuh dibunuh maka orang
tersebut makin sakti.
Mangkok merah
terbuat dari teras bambu (ada yang mengatakan terbuat dari tanah liat) yang
didesain dalam bentuk bundar segera dibuat. Untuk menyertai mangkok ini
disediakan juga perlengkapan lainnya seperti ubi jerangau merah (acorus
calamus) yang melambangkan keberanian (ada yang mengatakan bisa diganti dengan
beras kuning), bulu ayam merah untuk terbang, lampu obor dari bambu untuk suluh
(ada yang mengatakan bisa diganti dengan sebatang korek api), daun rumbia (metroxylon
sagus) untuk tempat berteduh dan tali simpul dari kulit kepuak sebagai lambang
persatuan. Perlengkapan tadi dikemas dalam mangkok dari bambu itu dan dibungkus
dengan kain merah.
Menurut cerita
turun-temurun mangkok merah pertama beredar ketika perang melawan Jepang dulu.
Lalu terjadi lagi ketika pengusiran orang Tionghoa dari daerah-daerah Dayak
pada tahun 1967. pengusiran Dayak terhadap orang Tionghoa bukannya perang antar
etnis tetapi lebih banyak muatan politisnya. Sebab saat itu Indonesia sedang konfrontasi
dengan Malaysia.
Menurut
kepercayaan Dayak, terutama yang dipedalaman Kalimantan yang disampaikan dari
mulut ke mulut, dari nenek kepada bapak, dari bapak kepada anak, hingga saat
ini yang tidak tertulis mengakibatkan menjadi lebih atau kurang dari yang
sebenar-benarnya, bahwa asal-usul nenek moyang suku Dayak itu diturunkan dari
langit yang ke tujuh ke dunia ini dengan “Palangka Bulau” ( Palangka artinya
suci, bersih, merupakan ancak, sebagai tandu yang suci, gandar yang suci dari
emas diturunkan dari langit, sering juga disebutkan “Ancak atau Kalangkang” ).
J. Seni Tari Dayak
1.
Tari Gantar
Tarian yang
menggambarkan gerakan orang menanam padi. Tongkat menggambarkan
kayu penumbuk sedangkan bambu serta
biji-bijian didalamnya menggambarkan benih padi
dan wadahnya.
Tarian ini cukup
terkenal dan sering disajikan dalam penyambutan tamu dan acara-acara
lainnya.Tari ini tidak hanya dikenal
oleh suku Dayak Tunjung namun juga dikenal oleh
suku Dayak Benuaq. Tarian ini dapat
dibagi dalam tiga versi yaitu tari Gantar Rayatn,
Gantar Busai dan Gantar Senak/Gantar
Kusak.
2.
Tari Kancet Papatai / Tari Perang
Tarian ini
menceritakan tentang seorang pahlawan Dayak Kenyah berperang melawan musuhnya.
Gerakan tarian ini sangat lincah, gesit, penuh semangat dan kadang-kadang
diikuti oleh pekikan si penari.
Dalam tari Kancet
Pepatay, penari mempergunakan pakaian tradisionil suku Dayak Kenyah dilengkapi
dengan peralatan perang seperti mandau, perisai dan baju perang. Tari ini
diiringi dengan lagu Sak Paku dan hanya menggunakan alat musik Sampe.
3.
Tari Kancet Ledo / Tari Gong
Jika Tari Kancet
Pepatay menggambarkan kejantanan dan keperkasaan pria Dayak Kenyah, sebaliknya
Tari Kancet Ledo menggambarkan kelemahlembutan seorang gadis bagai sebatang
padi yang meliuk-liuk lembut ditiup oleh angin.
Tari ini dibawakan
oleh seorang wanita dengan memakai pakaian Tari Kancet Ledo tradisional suku
Dayak Kenyah dan pada kedua tangannya memegang rangkaian bulu-bulu ekor burung
Enggang. Biasanya tari ini ditarikan diatas sebuah gong, sehingga Kancet Ledo
disebut juga Tari Gong.
4.
Tari Kancet Lasan
Menggambarkan
kehidupan sehari-hari burung Enggang, burung yang dimuliakan oleh
suku Dayak Kenyah karena dianggap
sebagai tanda keagungan dan kepahlawanan. Tari Kancet Lasan merupakan tarian
tunggal wanita suku Dayak Kenyah yang sama gerak dan posisinya seperti Tari
Kancet Ledo, namun si penari tidak mempergunakan gong dan bulubulu burung
Enggang dan juga si penari banyak mempergunakan posisi merendah dan berjongkok
atau duduk dengan lutut menyentuh lantai.
Tarian ini lebih ditekankan pada gerak-gerak burung Enggang ketika terbang
melayang dan hinggap bertengger di dahan pohon. Posisinya seperti Tari
Kancet Ledo, namun si penari tidak mempergunakan gong dan bulubulu burung
Enggang dan juga si penari banyak mempergunakan posisi merendah dan berjongkok
atau duduk dengan lutut menyentuh lantai. Tarian ini lebih ditekankan pada
gerak-gerak burung Enggang ketika terbang melayang dan hinggap bertengger di
dahan pohon.
5.
Tari Leleng
Tarian ini
menceritakan seorang gadis bernama Utan Along yang akan dikawinkan secara paksa
oleh orangtuanya dengan pemuda yang tak dicintainya. Utan Along akhirnya
melarikan diri kedalam hutan. Tarian gadis suku Dayak Kenyah ini ditarikan
dengan diiringi nyanyian lagu Leleng.
6.
Tari Hudoq
Tarian ini
dilakukan dengan menggunakan topeng kayu yang menyerupai binatang buas serta
menggunakan daun pisang atau daun kelapa sebagai penutup tubuh penari. Tarian
ini erat hubungannya dengan upacara keagamaan dari kelompok suku Dayak Bahau
dan Modang. Tari Hudoq dimaksudkan untuk memperoleh kekuatan dalam mengatasi
gangguan hama perusak tanaman dan mengharapkan diberikan kesuburan dengan hasil
panen yang banyak.
7.
Tari Hudoq Kita'
Tarian dari suku
Dayak Kenyah ini pada prinsipnya sama dengan Tari Hudoq dari suku Dayak Bahau
dan Modang, yakni untuk upacara menyambut tahun tanam maupun untuk menyampaikan
rasa terima kasih pada dewa yang telah memberikan hasil panen yang baik.
Perbedaan yang mencolok anatara Tari Hudoq Kita' dan Tari Hudoq ada pada
kostum, topeng, gerakan tarinya dan iringan musiknya. Kostum penari Hudoq Kita'
menggunakan baju lengan panjang dari kain biasa dan memakai kain sarung,
sedangkan topengnya berbentuk wajah manusia biasa yang banyak dihiasi dengan
ukiran khas Dayak Kenyah. Ada dua jenis topeng dalam tari Hudoq Kita', yakni
yang terbuat dari kayu dan yang berupa cadar terbuat dari manik-manik dengan
ornamen Dayak Kenyah.
8.
Tari Serumpai
Tarian suku Dayak
Benuaq ini dilakukan untuk menolak wabah penyakit dan mengobati
orang yang digigit anjing gila.
Disebut tarian Serumpai karena tarian diiringi alat musik Serumpai (sejenis
seruling bambu).
9.
Tari Belian Bawo
Upacara Belian Bawo
bertujuan untuk menolak penyakit, mengobati orang sakit, membayar nazar dan
lain sebagainya. Setelah diubah menjadi tarian, tari ini sering disajikan pada
acara-acara penerima tamu dan acara kesenian lainnya. Tarian ini merupakan
tarian suku
Dayak Benuaq.
10.
Tari Kuyang
Sebuah tarian
Belian dari suku Dayak Benuaq untuk Tari Hudoq Tari Belian Bawo mengusir
hantu-hantu yang menjaga pohon-pohon yang besar dan tinggi agar tidak
mengganggu manusia atau orang yang menebang pohon tersebut.
11.
Tari Pecuk Kina
Tarian ini menggambarkan
perpindahan suku Dayak Kenyah yang berpindah dari daerah Apo Kayan (Kab.
Bulungan) ke daerah Long Segar (Kab. Kutai Barat) yang memakan waktu
bertahun-tahun.
12.
Tari Datun
Tarian ini
merupakan tarian bersama gadis suku Dayak Kenyah dengan jumlah tak pasti,
boleh 10 hingga 20 orang. Menurut
riwayatnya, tari bersama ini diciptakan oleh seorang kepala suku Dayak Kenyah
di Apo Kayan yang bernama Nyik Selung, sebagai tanda syukur dan kegembiraan
atas kelahiran seorang cucunya. Kemudian tari ini berkembang ke segenap daerah
suku Dayak Kenyah.
13.
Tari Ngerangkau
Tari Ngerangkau
adalah tarian adat dalam hal kematian dari suku Dayak Tunjung dan
Benuaq. Tarian ini mempergunakan
alat-alat penumbuk padi yang dibentur-benturkan secara teratur dalam posisi
mendatar sehingga menimbulkan irama tertentu.
14.
Tari Baraga' Bagantar
Awalnya Baraga'
Bagantar adalah upacara belian untuk merawat bayi dengan memohon
bantuan dari Nayun Gantar. Sekarang
upacara ini sudah digubah menjadi sebuah tarian oleh suku Dayak Benuaq.
H.
Macam-macam suku dayak
- Suku
Dayak Abal
- Suku Dayak Bakumpai
- Suku Dayak Bentian
- Suku Dayak Benuaq
- Suku Dayak Bidayuh
- Suku Dayak Bukit
- Suku Dayak Darat:Dayak Mali
- Suku Dayak Dusun
- Suku Dayak Dusun Deyah
- Suku Dayak Dusun Malang
- Suku Dayak Dusun Witu
- Suku Dayak Kadazan
- Suku Dayak Lawangan
- Suku Dayak Maanyan
- Suku
Dayak Mali
- Suku Dayak Mayau
- Suku Dayak Meratus
- Suku Dayak Mualang
- Suku Dayak Ngaju
- Suku Dayak Ot Danum
- Suku Dayak Samihim
- Suku Dayak Seberuang
- Suku Dayak Siang Murung
- Suku Dayak Tunjung
- Suku Dayak Kebahan
- Suku
Dayak Keninjal
- Suku Dayak Kenyah
- Suku Dayak Simpangk
- Suku Dayak Kualant
- Suku Dayak Ketungau
- Suku Dayak Sebaruk
- Suku Dayak Undau
- Suku Dayak Desa
- Suku Dayak Iban
- Suku Dayak Pesaguan
- Suku Dayak Lebang
I. Senjata Tradisional Suku Dayak
Pada zaman
penjajahan di Kalimantan dahulu kala, serdadu Belanda bersenjatakan senapan
dengan teknologi mutakhir pada masanya, sementara prajurit Dayak umumnya hanya
mengandalkan sumpit. Akan tetapi, serdadu Belanda ternyata jauh lebih takut
terkena anak sumpit ketimbang prajurit Dayak diterjang peluru. Berikut ini
adalah senjata-senjata tradisional suku dayak :
- Sipet / Sumpitan.
Merupakan senjata utama suku dayak. Bentuknya bulat dan berdiameter 2-3
cm, panjang 1,5 - 2,5 meter, ditengah-tengahnya berlubang dengan diameter
lubang ¼ - ¾ cm yang digunakan untuk memasukan anak sumpitan (Damek).
Ujung atas ada tombak yang terbuat dari batu gunung yang diikat dengan
rotan dan telah di anyam. Anak sumpit disebut damek, dan telep adalah
tempat anak sumpitan.
- Lonjo / Tombak.
Dibuat dari besi dan dipasang atau diikat dengan anyaman rotan dan
bertangkai dari bambu atau kayu keras.
- Telawang / Perisai.
Terbuat dari kayu ringan, tetapi liat. Ukuran panjang 1 – 2 meter dengan
lebar 30 – 50 cm. Sebelah luar diberi ukiran atau lukisan dan mempunyai
makna tertentu. Disebelah dalam dijumpai tempat pegangan.
- Mandau. Merupakan
senjata utama dan merupakan senjata turun temurun yang dianggap keramat.
Bentuknya panjang dan selalu ada tanda ukiran baik dalam bentuk tatahan
maupun hanya ukiran biasa. Mandau dibuat dari batu gunung, ditatah, diukir
dengan emas/perak/tembaga dan dihiasi dengan bulu burung atau rambut
manusia. Mandau mempunyai nama asli yang disebut “Mandau Ambang Birang
Bitang Pono Ajun Kajau”, merupakan barang yang mempunyai nilai religius,
karena dirawat dengan baik oleh pemiliknya. Batu-batuan yang sering
dipakai sebagai bahan dasar pembuatan Mandau dimasa yang telah lalu yaitu:
Batu Sanaman Mantikei, Batu Mujat atau batu Tengger, Batu Montalat.
- Dohong. Senjata ini semacam
keris tetapi lebih besar dan tajam sebelah menyebelah. Hulunya terbuat
dari tanduk dan sarungnya dari kayu. Senjata ini hanya boleh dipakai oleh
kepala-kepala suku, Demang, Basir.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan
paparan dan analisis data pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai jawaban atas permasalahan yang diangkat yaitu antara lain:
1.
Sebagian masyarakat suku dayak pada dasarnya masih sangat menghargai kebudayaan
tersebut dan juga sangat menghormati leluhur mereka, karena dalam kehidupan
mereka sangat percaya pada leluhur mereka, apapun yang ditinggalkan oleh
leluhur mereka itulah yang wajib dikerjakan dan mereka beranggapan bahwa bila
ini tidak dijalankan maka aka nada bencana bagi keluarga mereka dan juga orang
yang ada disekitar mereka .
2. Sistem kekerabatan suku dayak yaitu
menggunakan system parental ( ayah dan ibu) .
B. Saran
Sebagai warga
Negara Indonesia kita perlu mengetahui kebudayaan-kebudayaan yang ada di Negara
kita sendiri. Kadang kita lebih mengenal budaya yang ada di Negara barat
melainkan budaya kita sendiri. Salah satu budaya dari Negara kita adalah budaya
suku dayak . Tentu bukan hanya budaya dayak yang ada di negara Indonesia,
melainkan masih banyak budaya-budaya yang belum kita ketahui . Maka dari itu
kita harus mengenal budaya kita sendiri mulai memberikan wawasan kepada
anak-anak sejak dini agar memahami beragam budaya yang ada di Negeri cercinta ini.