SEKOLAH IMPIAN
Hujan telah mengguyur daerah Panduwan sejak dua jam lalu. Permukiman kumuh di
sekitar gunung sampah menambah kesan prihatin. Tumpukan sampah basah maupun
kering menjadi objek utama daerah Panduwan. Sekelompok anak kecil
menari-nari bahagia dengan membawa payung-payung yang setengah rusak. Mereka
tidak memperdulikan hujan yang semakin deras. Badan-badan itu basah kuyup,
tetapi mereka tetap tersenyum bahagia.
“Yun, Bela izin sama kakek dulu ya” ucap seorang gadis kecil. Yang diajak
bicara hanya mengangguk dan melanjutkan tariannya. Di sebuah gubuk kecil yang
berdinding kardus dan beratap seng seadanya, duduklah seorang lelaki tua yang
sedang membaca Al-Quran dengan khusyuk.
“Assalamualaikum kek,” sapa gadis
kecil yang bernama Bela itu. Lelaki tua tersebut mengangkat kepala.
“Waalaikumsalam. Ya, ada apa
Bela?”tanyanya.
“Kek, Bela mau ikut ojek payung.
Boleh ya?”.
“Iya, tapi kamu hati-hati. Jangan
lama-lama ya”.
“Iya Kek. Assalamualaikum”sahut
Bela.
Bela dan teman-temannya pergi ke sebuah daerah yang cukup ramai. Hujan
bagi mereka adalah saat yang membahagiakan, karena mereka bisa mengumpulkan
uang. Bela punya satu keinginan yang sangat kuat :Ingin sekolah. Sejak
orangtuanya bekerja menjadi TKI di luar negeri, Ia hanya tinggal berdua dengan
yang kakeknya sudah tua. Tetapi Bela tak pernah menyerah. Dengan bekal ajaran
agama yang telah Ia terima sejak kecil, membuatnya menjadi pribadi yang baik
dan selalu bersyukur dengan apa yang dimilikinya.
“Yuni, kita ke toko itu yuk” ajak Bela sambil menunjuk sebuah toko di ujung
jalan.
“Permisi mbak, butuh payung?”
Bela menawarkan jasa ojek payungnya.
“Berapa ongkosnya?” tanya perempuan
tersebut.
“Terserah mau kasih berapa mbak”
jawab Bela polos.
“Dua ribu ya”.
“Alhamdulillah, boleh. Ini payungnya
mbak” Bela menyerahkan payungnya.
Satu setengah jam berlalu. Hujan telah reda, yang tersisa hanya gerimis halus.
Bela dan teman-temannya harus kembali ke rumah masing-masing.
Sesampainya di rumah, Bela mencium tangan kakeknya. Kemudian ia berwudhu dan
mengerjakan shalat Magrib. Setelah shalat Magrib, seperti biasa Ia dan kakeknya
tadarrusan bersama.
Setelah shalat Magrib, mereka makan malam seadanya.
“Kek, Bela ingin sekolah”ucap Bela
membuka pembicaran.
“Bela, maafkan kakek. Kamu memang
sudah pantas untuk sekolah. Tetapi kita tidak punya uang. Makan sehari-hari
saja, kita hanya mengandalkan dari hasil pemulungan sampah”jawab Kek Dulmajid
lirih.
Hatinya begitu sedih mendengar
keinginan cucu tersayangnya yang ingin sekolah.
“Iya Bela tahu, Kek. Tapi apakah setiap anak-anak disini tidak sekolah?”tanya
Bela dengan polos.
“Entahlah, Kakek prihatin. Kakek
sangat berharap pemimpin kita bisa menyadari keadaan rakyat kecil seperti
kita”jawab Kakek Dumajid lagi.
“Pemimpin itu siapa kek?” Bela
mendongakkan kepalanya.
“Pemimpin itu orang yang
diamanatkan untuk memimpin dan mensejahterahkan kehidupan masyarakat di suatu
daerah”jawab Kek Dulmajid lembut.
“Kalau begitu, Bela harus kasih tahu pemimpin itu, bagaimana keadaan kita
disini” ujar anak kecil tersebut dengan bersemangat.
“Hahaha, kamu masih kecil,
Nak. Ya sudah, cepat habiskan nasinya. Setelah itu kita shalat Isya
berjamaah”sahut Kek Dulmajid.
“Iya,Kek”.
Pagi yang cerah, mentari menampakkan diri dari ufuk timur. Penduduk di Panduwan
memulai hari mereka. Hari-hari yang berkumpul di gunung sampah. Hari-hari yang
menggantungkan penghasilan dari gunung sampah. Tetapi mereka masih bersyukur.
Syukur itulah yang membuat nikmat selalu bertambah, tak akan habis nikmat Tuhan
sampai kita mati pun.
Bela, Yuni, Rani, Doni, dan Zani sejak pagi sudah mengais-ngais tumpukan
sampah. Mencari rezeki di balik tumpukan sampah. Mereka melakukan hal ini sejak
masih sangat kecil, bahkan mungkin jika mereka membayangkan sebuah gunung, yang
muncul tetaplah Gunung Sampah. Bela masih berkutat di tumpukan sampah.
Tiba-tiba matanya terbelalak. Ia melihat sesuatu yang menarik perhatiannya. Ia
mengambil benda itu, yang ternyata adalah buku bacaan sekolah.
Ia berteriak bahagia, bahkan ia loncat-loncat sampai semua orang melihatnya.
“Hei, Bela. Ada apa
sih?”teriak Doni dari balik batu besar.
“Don, aku nemuin buku sekolah. Kita
bisa belajar!” teriak Bela tak kalah kuatnya. Kek Dulmajid yang kebetulan ada
disana, hanya menggeleng-geleng. Tak disadarinya, air mata jatuh di pipinya. Ia
amat menyayangi cucu semata wayangnya.
“Bela, jangan mimpi deh. Kita ini miskin, mana bisa sekolah”sahut Zani.
“Kata siapa? Kan Allah selalu
mendengar doa-doa hambanya. Bela selalu berdoa kok.”jawab Bela lugas.
“Iya kan, Kek?” tanya Bela
menoleh ke Kakek Dulmajid. Kakek Dulmajid baru tersadar dan cepat-cepat
mengusap air matanya.
“Iya, Allah Maha Mendengar”jawab Kek
Dulmajid lantang.
Sejak menemukan buku sekolah itu, Bela belajar dengan tekun. Ia sangat bahagia
bisa mengenal sedikit tentang pelajaran sekolah. Bela bahkan mengajarkan kepada
teman-temannya. Ia benar-benar berusaha untuk bisa sekolah.
Malam ini, hujan turun dengan sangat deras. Rumah kardus yang merupakan tempat
tinggal satu-satunya bagi Bela dan Kakek Dulmajid sudah bergoyang-goyang. Nasib
rumah ini sangat kritis. Seandainya ada angin besar yang menerpa, rumah mereka
akan roboh.
“Kek, gimana ini? Bela takut!” teriak Bela dari ruang depan.
“ Nggak apa-apa Bela, berdoa aja. Ayo, tidur, nanti bangunnya kesiangan.” ajak
Kek Dulmajid.
Bela menuruti kata-kata kakeknya. Ia berdoa, “Ya Allah, Bela minta semoga
rumah ini tidak roboh, karena ini satu-satunya tempat tinggal kami”. Bela
tidur di kamar yang satu-satunya di rumah itu, bersama dengan kakeknya.
Sementara di luar hujan semakin deras. Hingga subuh menjelang, hujan masih
turun, walaupun sudah agak reda.
Besoknya, desa Panduwan terendam oleh air. Ketika Bela terbangun, ia mendapati
dirinya berada di tenda pengungsian. Ia langsung duduk, dan menanyakan
keadaan ini kepada warga sekitar.
“Kakeeeeekkkkk Dulmajiddd!!” Bela berteriak. Ia melihat desanya terendam air
yang tingginya hampir mencapai 2 meter. Bela menangis, berlari kesana kemari
mencari kakeknya. Ia mendekati Mang Ujang, tetangganya.
“Mang, kakek dimana?” tanya Bela.
“Maaf Bela, Mamang tidak tahu. Tadi pagi Mamang melihat kakek Dulmajid
ketika ia menyuruh Mamang untuk membawamu kesini. Setelah itu, Mamang tidak
tahu keberadaan Kakek Dulmajid.” Jawab Mang Ujang dengan nada lirih.
“Ya Allah, tolong selamatkan kakek. Bela cuma punya Kakek disini” Bela mulai
menangis dan berlutut di tengah-tengah kesibukan orang-orang yang mengungsi.
Tiba-tiba ada seorang lelaki separuh baya menghampiri Bela. Ia menenangkan Bela
dan berkata, “Bela, kakekmu hanyut dibawa air. Banyak warga yang hilang dalam
banjir bandang ini. Sabar ya, Nak.”
“Bapak siapa?” tanya Bela sendu.
“Saya reporter yang meliput banjir ini, Nak. Tadi saya melihat nama kakekmu ada
di daftar korban banjir.” jawabnya singkat.
Kali ini Bela benar-benar menangis. Ia telah kehilangan keluarga satu-satunya
yang ia punya di Jakarta. Bela hanyalah anak kecil yang belum tahu tentang
kehidupan. Mang Ujang iba melihatnya. Ia memutuskan untuk mengajak Bela tinggal
bersama keluarganya. Karena takut sendiri, Bela pun bersedia tinggal bersama
keluarga Mang Ujang.
Akibat peristiwa banjir itu, Bela
tumbuh menjadi anak yang tegar. Ia berusaha mencari uang dengan kerja kerasnya.
Ia tidak ingin menyusahkan keluarga Mang Ujang yang telah bersedia
menampungnya. Sejak peristiwa banjir itu pula Bela menjadi cukup dekat dengan
lelaki petugas evakuasi yang membetritahu tentang kakeknya pada waktu banjir
itu.
Bela sering menanyakan tentang sekolah, pekerjaan orang dewasa, dan kehidupann
anak-anak yang tidak sekolah. Orang itu sangat simpati dengan niat Bela yang
ingin sekolah. Ia berusaha untuk mewujudkan keinginan Bela. Ia memberitakan
tentang keadaan anak-anak yang tidak sekolah di daerah kumuh. Ia juga
mengajukan berbagai permintaan ke pihak pemerintah agar dibangun sebuah sekolah
di Desa Panduwan.
Pemimpin daerah tesebut merespons baik permintaan reporter tersebut. Setelah
meninjau lokasi, akhirnya dibangunlah sebuah sekolah yang menyediakan
pendidikan dari tingkat SD, SMP, dan SMA.
Setelah 1 tahun berjalan, akhirnya berdirilah sebuah sekolah di Desa Panduwan.
Sekolah ini merupakan tempat yang dicintai anak-anak, tempat yang membuat
kecerahan bagi anak-anak. Dan tempat yang nantinya akan melahirkan tunas-tunas
bangsa yang cerdas dan jujur.
Bela sangat bahagia. Ia bersyukur kepada Allah, ternyata keinginannya untuk
sekolah bukan hanya sekedar mimpi. Allah telah mewujudkan impiannya!
Benar-benar indah! Bela tumbuh menjadi anak yang cerdas dan berprestasi. Ia
bisa menyelesaikan sekolahnya dengan sangat baik dan melanjutkan ke Universitas
Negeri dengan beasiswa. Ketika orang tuanya pulang, mereka sangat bangga kepada
anak mereka. Akhirnya Bela menjadi orang yang sukses dengan selalu bergantung
dan percaya kepada Allah SWT.
Penulis
: Amrina Rosyada