Selasa, 05 Januari 2016

kasus phk


KASUS PHK PT TITAN
PENDAHULUAN
Pelanggaran etika banyak terjadi di mana-mana, contohnya dalam dunia bisnis. Kasus pelanggaran dalam etika bisnis menjadi hal yang wajar pada masa kini, sering kita menyaksikan berita di televisi atau saat membaca koran ada saja berita tentang pelanggaran etika yang dilakukan oleh pembisnis yang mengabaikan etika, rasa keadilan, kurang terpuji dan tidak bertanggung jawab.
Salah satu contoh kasus tentang pelanggaran etika adalah Kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) 41 pekerja outsourching bagian keamanan (sekuriti) di PT Titan terkatung-katung. Mediasi antara para buruh yang di-PHK dan pihak manajemen yang difasilitasi Komisi II DPRD Kota Cilegon, Selasa (5/2), gagal menyelesaikan permasalahan. Sebabnya, perusahaan labour suplay PT Frist Scurity Indonesia (FSI) yang mempekerjakan para buruh tersebut, tidak hadir dalam rapat mediasi tersebut. Selain itu, pejabat Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Cilegon juga tidak ada yang hadir.
Para buruh eks sekuriti perusahaan pabrik biji besi di Kecamatan Gerem itu datang di DPRD Kota Cilegon sekitar pukul 09.30 WIB.
            Namun mereka kecewa karena tak ada anggota Komisi II yang menemui mereka. Padahal para buruh dan perwakilan pihak manajemen PT Titan sudah berkumpul di ruang rapat DPRD. Sementara pihak PT FSI yang diundang Komisi II juga tidak hadir."Kabarnya beberapa anggota Komisi II sedang ke Jakarta," ujar beberapa eks sekuriti PT Titan. Namun beberapa saat kemudian, Sekretaris Komisi II DPRD Kota Cilegon, Yusuf Amin, datang
 di gedung dewan menemui mereka. Tak lama kemudian rapat mediasi dilaksanakan.
Dalam kesempatan tersebut, para eks sekuriti PT Titan mengungkapkan, sejak empat bulan lalu di-PHK oleh perusahaan tempat pihaknya bekerja, namun tak mendapat pesangon. Selain itu, hak buruh lainnya di antaranya uang seragam selama bekerja juga tak diberikan. Mereka meminta pihak manajemen PT Titan atau PT FSI yang mempekerjakan para buruh tersebut, segera menyelesaikan permasalahan ini. "Sudah empat bulan masalah ini terkatung-katung penyelesaiannya, kami berharap dengan pertemuan ini dapat segera diselesaikan," ujar Ian, salah seorang eks sekuriti PT Titan
Jalan musyawarah Menanggapi keinginan para buruh, Sekretaris Komisi II, Yusuf Amin yang memimpin mediasi tersebut, mendesak manajemen PT Titan segera menyelesaikan permasalahan tersebut. "Kami berharap manajemen perusahaan dan pihak buruh bermusyawarah untuk menyesaikan permasalahan ini," pintanya. Pihak manajemen PT Titan yang diwakili pengacaranya Oto Winoto dan Daniel, menyambutbaik saran Sekretaris Komisi II tersebut.
"Kami dari pihak perusahaan sebenarnya sudah siap menyelesaikan permasalahan ini, namun kami masih menunggu hitung-hitungan dari PT FSI," kata Oto Winoto. Akan tetapi yang jadi persoalaan, kata dia, PT FSI tidak hadir dalam kesempatan ini. Ia mengatakan, permasalahan eks sekuriti selama ini terkatung-katung, lantaran PT FSI selalu tak hadir. Akibat ketidakhadiran perusahaan tersebut, mediasi yang difasilitasi Komisi II kembali mengalami jalan buntu. Sebelum rapat mediasi ditutup, Sekretaris Komisi II, Yusuf Amin menyatakan, akan menjadwal ulang rapat mediasi ini dengan mengundang kembali PT FSI.

TEORI
PHK seringkali disamakan dengan pemecatan secara sepihak oleh perusahaan terhadap pekerja karena kesalahan pekerjanya, sehingga kata PHK terkesan negatif. Padahal, pada kenyataannya PHK tidak selalu sama dengan pemecatan. Dalam UU No 13/2003, Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha . PHK dapat dibedakan menjadi dua yaitu secara sukarela dan tidak sukarela. PHK sukarela merupakan pemutusan hubungan kerja yang diajukan oleh pekerja (pengunduran diri) tanpa adanya paksaan atau intimidasi dan disetujui oleh pihak perusahaan. PHK tidak sukarela terdiri dari: (1) PHK oleh perusahaan baik karena kesalahan pekerja itu sendiri maupun karena alasan lain seperti kebijakan perusahaan; (2) Permohonan PHK oleh pekerja ke LPPHI (Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial) karena kesalahan pengusaha; (3) PHK karena putusan hakim dan (4) PHK karena peraturan perundang-undangan.
Jangan lupa bahwa dalam suatu kejadian PHK, kedua pihak sama-sama merugi. Pekerja merugi karena kehilangan mata pencaharian, dan perusahaan merugi karena kehilangan aset sumber daya manusia serta kehilangan modal yang telah dikeluarkan untuk recruitment dan peningkatan kompetensi pekerja (pelatihan dan pendidikan). Karenanya, untuk dapat melakukan analisis etika PHK, pertama-tama kita harus memiliki sudut pandang yang netral mengenai PHK itu sendiri.
Untuk PHK tidak sukarela, etika menjadi lebih kompleks karena ada salah satu pihak yang tidak menyetujuinya. Dalam makalah ini, PHK tidak sukarela yang akan dibahas adalah jenis pertama, yaitu PHK oleh perusahaan. Terdapat bermacam-macam alasan PHK, yang secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu: pertama, karena pekerja (melakukan kesalahan berat atau melanggar peraturan perusahaan); kedua, karena perusahaan (pailit, merugi atau melakukan efisiensi); ketiga PHK yang tidak bisa dihindarkan (selesainya kontrak, pekerja sakit, meninggal dunia atau memasuki masa pensiun).
ANALISIS
Dalam etika bisnis terdapat lima prinsip yaitu: Pertama, otonomi. Perusahaan dapat bertindak secara etis apabila memiliki kebebasan dan kewenangan penuh untuk mengambil keputusan dan bertindak sesuai virtue/nilai-nilai yang dianggapnya baik; Kedua, kejujuran. Kejujuran berkaitan dengan syarat-syarat perjanjian kontrak dan berkaitan dengan hubungan kerja intern dalam suatu perusahaan; Ketiga, prinsip keadilan. Prinsip ini menuntut semua orang agar diperlakukan sama sesuai dengan aturan yang adil dan sesuai dengan kriteria yang rasional, objektif dan dapat dipertanggung jawabkan; Keempat, prinsip saling menguntungkan; dan Kelima, prinsip integritas moral.
Dalam hal pekerja melakukan kesalahan berat dan melanggar peraturan perusahaan, maka perusahaan berhak dan wajib untuk melakukan PHK. Menurut egoisme etis, adalah baik dan etis bahwa perusahaan membela dirinya kalau diserang atau dirugikan oleh pegawai. Perusahaan memiliki hak secara legal untuk memutuskan hubungan kerja karena pekerja melanggar kontrak/perjanjian kerja. Perusahaan memiliki hak secara moral untuk menegakkan nilai-nilai yang dianggapnya baik, dan mengeluarkan pekerja yang tidak menghormati nilai-nilai tersebut. Perusahaan bahkan wajib melakukan PHK terkait hak pekerja untuk diperlakukan sama. Maksud dari pernyataan tersebut adalah bahwa terdapat paham keadilan legal (aristoteles) khususnya dalam perusahaan, setiap orang berhak mendapat perlakuan hukum yang sama, sesuai dengan peraturan yang berlaku. Berdasar atas keadilan ini,maka perusahaan tidak boleh mengistimewakan karyawannya dan secara hukum setiap individu karyawan harus diperlakukan sama. Jika ada pegawai yang melakukan pelanggaran berat dan perusahaan tidak melakukan PHK, maka perusahaan telah mengistimewakan pegawai tersebut dan mendiskriminasikan pegawai dengan melanggar hak pegawai yang lain untuk diperlakukan sama. Di sisi lain, secara hokum, pekerja tersebut harus diperlakukan dengan asas praduga tak bersalah sampai terbukti sebaliknya, dan berhak untuk diproses dengan sah secara hukum.
Dalam hal perusahaan yang melakukan PHK tanpa ada kesalahan pekerja, dapat dilihat dari dua teori etika yaitu menurut etika deontologi dan menurut etika teleologi. Menurut etika deontology, tindakan PHK oleh perusahaan bukanlah tindakan yang baik secara moral bagi pegawai karena membuat mereka kehilangan hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Sedangkan menurut etika teleology, tindakan PHK itu baru dapat dinilai baik buruknya setelah diketahui tujuan dari PHK itu sendiri. Etika Utilitarisme maupun kebijaksanaan bisnis sama-sama bersifat teleologis, hal ini berarti bahwa keduanya selalu mengacu pada tujuan dan mendasarkan baik-buruknya suatu keputusan berdasarkan tujuan/akibat/hasil yang akan diperoleh . Hal ini berarti bahwa,dari sudut pandang utilitarisme, PHK dapat diterima apabila tujuannya baik, walaupun dengan cara yang tidak baik (PHK). Contoh, jika dengan melakukan pemutusan hubungan kerja 50% karyawan dapat menyelamatkan kondisi perusahaan dan dapat menjaga keberlangsungan kerja 50% karyawan sisanya, maka menurut etika utilitarisme hal ini adalah baik. Tetapi, jika tujuan karyawan mem-PHK 50% karyawannya untuk mengurangi cost dan mendapatkan untung sebesar-besarnya, maka menurut utilitarisme, hal ini tidaklah baik karena hanya menguntungkan perusahaan dan melanggar prinsip “ mendatangkan keuntungan sebesar mungkin bagi sebanyak mungkin orang”. Kelemahan pandangan ini adalah hak sekelompok minoritas tertentu dikorbankan demi kepentingan pihak mayoritas, yang secara moral, hal ini bukanlah nilai yang utama.
Ketika perusahaan melakukan PHK, perusahaan tetap harus melakukan tanggung jawabnya yaitu tanggung jawab legal, tanggung jawab moral dan tanggung jawab sosial. Secara legal, perusahaan harus mengikuti peraturan yang berlaku seperti misalnya harus memperoleh penetapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (LPPHI), dan wajib membayar uang pesangon (UP) dan atau uang penghargaan masa kerja (UPMK) dan uang penggantian hak (UPH) yang seharusnya diterima yang dihitung berdasarkan upah karyawan dan masa kerjanya.

REFERENSI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar